Sebetulnya pada saat kenormalan baru itu, physical distancing atau jaga jarak tetap harus ditegakkan. Jika kemudian ojek daring (online) boleh beroperasi, bagi yang biasa memakai ojek daring, meski membawa helm sendiri tetaplah berisiko terkena penularan covid-19. Jadi bagi calon penumpang ojek daring perlu berhati-hati demi kesehatan.
Istilah dan layanan “OJEK” diperkirakan sudah mulai ada pada awal tahun 1970-an di beberapa daerah di Jawa Tengah dan di DKI Jakarta (Adi Nugroho, Boombastis.com, 2015). Pada masa itu ojek merupakan salah satu moda transportasi alternatif yang memenuhi sudut-sudut kota. Di Indonesia, seiring dengan peningkatan mobilitas masyarakat yang dibarengi membaiknya perekonomian tergambar dari semakin tingginya tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kemudian berdampak pada kemacetan lalu lintas khususnya di kota-kota besar.
Kondisi kemacetan lalu lintas dari tahun ke tahun semakin buruk dan layanan angkutan umum yang tidak memadai semakin menyuburkan perkembangan layanan ojek. Tahapan berikutnya adalah terkait dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dalam hal mana ojek bertransformasi dan pertumbuhannya semakin tidak terbendung, bahkan segala aturan bidang lalu lintas dan angkutan jalan terkesan tak mampu menjangkaunya. Ojek masa kini sudah bukan hanya menjemput/mengantar penumpang akan tetapi sudah pula melayani jasa pengiriman barang termasuk melayani pemesanan pembelian makanan/minuman. Pertanyaannya adalah “apakah keberadaan ojek akan dibiarkan/dipertahankan terus?”, waktu/masa yang akan mengubahnya.
Terkait dengan protokol kesehatan tersebut, kemudian Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian diterapkan di beberapa daerah. Terkait dengan ketentuan pembatasan jarak, maka yang sangat tidak mudah dalam penerapannya adalah pada angkutan umum.
Berdasarkan kenyataan tersebut, kini saatnya bagi Pemerintah untuk menata atau merancang kembali “angkutan alternatif” yang bisa untuk menggantikan peran ojek, dalam hal mana moda angkutan tersebut mampu menyediakan ruang/jarak antara pengemudi dan penumpangnya, bahkan sangat memungkinkan dipasang sekat pemisah secara permanen, sehingga masing-masing pihak dapat merasa terjaga kesehatannya.
Hal tersebut tidaklah sulit untuk diterapkan, Pemerintah bisa merangkul perusahaan penyedia/produsen kendaraan, organisasi angkutan darat (ORGANDA), kalangan perbankan, sekaligus perusahaan penyedia aplikasi sistem pemesanan daring. Kendaraan roda tiga sebagai angkutan umum yang dilengkapi dengan alat meteran penghitung ongkos tersebut pernah penulis saksikan dan mencobanya di Colombo, Ibukota Sri Lanka, bahkan di Negara tersebut kendaraan roda tiga disebut juga sebagai taksi.
Tentangan yang akan muncul kemungkinan besar datang dari pihak penyelenggara ojek saat ini. Namun hal itu tentunya masih sangat bisa diatasi yaitu dengan pemberian kesempatan kepada mereka untuk melakukan konversi dari sepeda motor ke bajaj. Pemerintah juga perlu membentuk Tim yang terdiri dari berbagai Kementerian/Lembaga dengan syarat yang ketat untuk tidak saling mengambil keuntungan sektoral, sehingga dengan niat baik dalam rangka menerapkan angkutan yang sehat dan manusiawi serta modern dapat terwujud.